Rabu, 05 Juni 2013

Bentuk-Bentuk Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak

Setelah kita bahas tentang pengertian dari pola asuh pada postingan sebelumnya, maka sekarang yang perlu kita ketahui lebih lanjut adalah ragam pola asuh yang digunakan orang tua kepada anaknya. Langsung saja kita cek macam-macam pola asuh pada ulasan di bawah ini.

Hurlock (1996) mengatakan bahwa perilaku orangtua terhadap anak sesuai dengan tipe pola asuh yang dianutnya diantaranya adalah:
1. Pola Asuh Otoriter
Perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah:
a.      Orangtua menentukan segala peraturan yang berlaku dalam keluarganya.
b.      Anak harus menuruti atau mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditentukan orangtua tanpa kecuali.
c.       Anak tidak diberi tahu alasan mengapa peraturan tersebut ditentukan.
d.      Anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya mengenai peraturan-peraturan yang telah ditetapkan orangtua.
e.      Kemauan orangtua dianggap sebagai tugas atau kewajiban bagi anak.
f.        Bila tidak mengikuti peraturan yang berlaku, maka hukuman yang diberikan berupa hukuman fisik.

2. Pola Asuh Permisif
Perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah:
a.      Tidak pernah ada peraturan dari orangtua.
b.      Anak tidak pernah dihukum.
c.       Tidak ada ganjaran dan pujian karena perilaku dari si anak.
d.      Anak bebas menentukan kemauannya/keinginannya.

3. Pola Asuh Demokratis
Perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah:
a.      Orangtua sebagai penentu peraturan.
b.      Anak berkesempatan untuk menanyakan alasan mengapa peraturan dibuat.
c.       Anak boleh ikut andil dalam mengajukan keberatan atas peraturan yang ada

Nah, pilihan ada di tangan anda. Sebagai orang tua yang menginginkan kebaikan untuk anaknya, keterangan tentang ulasan macam-macam tipe pola asuh ini saya harapkan bermanfaat dan bisa memberikan pemahaman kepada anda. Yang terpenting, jadilah orang tua yang baik.

Selasa, 04 Juni 2013

Pola Asuh Orang Tua



Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu “pola” dan “asuh”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pola” berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. (Depdikbud, 1988: 54) . Sedangkan kata “asuh” dapat berati menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga. (TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988 : 692) Lebih jelasnya kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.

Menurut (Mussen, 1994, h.395) Pola asuh adalah cara yang digunakan orangtua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti. Pernyataan yang sama juga di kemukakan oleh Gunarsa (1990) bahwa pola asuh adalah suatu gaya mendidik yang dilakukan oleh orangtua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya dalam proses interaksi yang bertujuan memperoleh suatu perilaku yang diinginkan.

Markum (1999 : 49) berpendapat bahwa pola asuh adalah cara orang tua mendidik anak dan membesarkan anak yang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan, serta pengaruh kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang mengasuhnya). Kohn yang dikutip oleh Putri (2007) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah, maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.

Hurlock (1999 : 59) mengatakan bahwa pola asuh dapat diartikan pula dengan kedisiplinan. Disiplin merupakan cara masyarakat mengajarkan kepada anak perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Adapun tujuan kedisiplinan adalah memberitahukan kepada anak sesuatuyang baik dan buruk serta mendorongnya untuk berperilaku dengan standar yang berlaku dalam masyarakat di lingkungan sekitarnya. 

Pendapat Baumrind yang dikutip oleh Yusuf (2004 : 51) mendefinisikan pola asuh sebagai pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap perilaku anak antara lain terhadap kompetensi emosional, sosial, dan intelektual anak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah cara orang tua memperlakukan anaknya dengan menjaga, merawat, dan mendidik anaknya. Dari cara perlakuan orang tua akan mencerminkan karakteristik tersendiri yang mempengaruhi pola sikap anak kemudian hari.

Minggu, 28 April 2013

OCD (Obsessive Compulsive Disorder)

kita sering mengenal gejala ini dengan sebutan "mamang" atau "ragu-ragu" yang terlalu berlebihan. Istilah-istilah yang sering kita pergunakan tersebut tidaklah sepenuhnya salah, karena istilah tersebut memang sering dipergunakan dalam dunia awam. Setelah itu, ada baiknya jika kita mengulas secara teoritis apa yang dimaksud dengan gangguan OCD tersebut.



Seseorang dapat dikatakan memiliki insight mengenai pengalaman yang disebut dengan obsesi (obsession) adalah orang yang memiliki pikiran yang tampaknya tidak dapat dihilangkan dari kesadaran orang tersebut. Obsesif merupakan ide, pikiran, impuls atau gambaran yang menetap dan mengganggu. Orang dengan obsesi menyadari fakta bahwa kognisi ini muncul dari pola pikir mereka yang terganggu dan mereka dengan putus asa berusaha untuk memikirkan hal lain. 

Banyak orang yang mengalami gangguan obsesi ini berjuang dengan kompulsi. Kompulsi (compulsion) adalah pengulangan perilaku dan memiliki tujuan tertentu yang dilakukan sebagai respon terhadap dorongan yang tidak dapat dikendalikan atau dilakukan berdasarkan suatu ritual atau seperangat aturan yang membentuk stereotip. Tidak seperti obsesi yang dapat menyebabkan kecemasan, kompulsi dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi kecemasan atau stress. Gangguan yang dikenal sebagai gangguan obsesif kompulsif (Obsession Compulsive Disorder – OCD) melibatkan baik komponen obsesi yang berulang dan kompulsi yang secara signifikan mengganggu kehidupan individu sehari-hari.


Rangkuman Kriteria OCD
Fitur-fitur gangguan kepribadian obsesif kompulsif meliputi:
1.      Pola pervasif dan preokupasi dengan keteraturan, perfeksionisme, dan kontrol mental yang interpersonal yang mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan dan efisensi yang berawal pada masa dewasa awal.
2.      Terpreokupasi dengan detail, peraturan, aturan, daftar, organisasi atau jadwal sampai ke tingkat kehilangan poin pokok aktifasinya.
3.      Perfeksionisme yang mengganggu penyelesaian tugas.
4.      Menyerahkan diri pada pekerjaan dan produktiftas sampai ke tingkat eksesif sehingga melupakan kegiatan hiburan dan pertemanan.
5.      Terlalu teliti, cermat, dan terlalu fleksibel tentang masalah-masalah yang terkait dengan moralitas, etika, atau nilai-nilai.
6.      Tidak mampu mengabaikan benda-benda yang tidak penting meskipun benda-benda tersebut sama sekali tidak memiliki nilai sentimental.
7.      Tidak mau mendelegasikan tugas atau kerja sama dengan orang lain kecuali jika mereka mau mengikuti cara kerjanya.
8.      Mengadopsi sikap kikir, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain, karena takut tidak memiliki simpanan bila terjadi bencana di masa yang akan datang.
9.      Rigid dan keras kepala.


Penyebab OCD
Gangguan obsesif kompulsif sering kali dipahami sebagai gangguan genetik (Jonnal, Gardner, Prescott, & Kendler, 2000; Pat, Schindler, & Pato, 2001) yang mereflesikan abnormalitas dalam basal ganglia, area sub kortikal apada otak yang melibatkan pengendalian daerah motorik. Secara spesifik, sistem yang melibatkan glautamat, dopamin, serotonin, dan asetilkolin dapat telibat, mempengaruhi fungsi dari korteks prafrontal (Carlsson, 2001). Oleh karena itu, sirkuit pada otak yang menghubungkan daerah subkortikal dan kortikal yang berfungsi untuk menghambat perilaku tampaknya bekerja secara abnormal pada gangguan ini (Saxena & Rauch, 2000). Individu dengan OCD memiliki pikiran dan perilaku yang tidak dapat mereka kendalikan, seolah-olah struktur otak mereka yang berhubungan dengan proses ini bekerja terus-menerus, berusaha untuk mengendalikan pikiran dan perilaku tersebut. Sejalan dengan scan PET, individu dengan OCD telah meningkatkan tingkat aktifitas pada pusat otak kendali motorik dengan bangsal ganglia dan lobus frontal.
Gangguan lainnya yang menyebabkan abnormalitas neurokimia yang sama, juga berhubungan gangguan obsesif kompulsif yang berada pada suatu kontinum atau spektrum. Spektrumini mencakup jangkauan yang luas dari gangguan yang meliputi disosiasi, somatisasi, hipokondriasis, gangguan makan, judi yang bersifat patologis, dan gangguan yang berhubungan dengan impuls yang tidak dapat dikendalikan. Ada juga kemungkinan adanya hubungan OCD dengan tourette, ketika individu menunjukkan pola simtom motorik yang abnormal.ketika gangguan ini terjadi secara tumpang tindih, maka gambaran simtom cenderung terlihat lebih parah dibandingkan dengan satu kondisi yang didiagnosis.
Selain itu, alhi teori yang berorientasi pada perilaku elah lama memusatkan perhatiannya pada kemungkinan bahwa simtom OCD menjadi semakin kuat melalui proses pengkondisian, ketika perilaku mereka diasosiasikan dengan pelepasan kecemasan yang bersifat sementara.
Pespektif kognitif-perilaku memusatkan perhatian pada pola pikir maladaptif yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan menetapnya simtom OCD, individu dengan OCD mungkin bereaksi berlebihan terhadap peristiawa yang menimbulkan kecemasan yang terjadi di lingkungannya. Diasumsikan bahwa klien dengan gangguan ini merasa terganggu dengan pikiran yang berhubungan dengan kebutuhan untuk menciptakan kesempurnaan, adanya keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab akan kerugian yang dialami oleh orang lain, dan merasa khawatir terhadap kemungkinan terjadinya bahaya. Mereka selanjutnya bergulat dengan gambaran yang mengganggu dan berhubungan dengan pikiran-pikiran tersebut dan mencoba untuk melakukan represi atau menghilangkannya dengan melakukan ritual kompulsi. Semakin mereka mencoba untuk melakukan represi terhadap pikiran-pikiran tersebut, semiakin besar pula ketidaknyamanan yang mereka rasakan dan ketidakmampuannya dalam menghentkan pikiran tersebut.
 
Treatment
Intervensi yang paling berpeluang dalam menangani individu dengan gangguan obsesif kompulsif bersumber pada pendekatan biologis dan psikologis yang biasanya dikombnasikan dengan treatmen yang integral. Sejauh ini, treatmen dengan klomipramina atau pengobatan yang berfungsi sebagai penghambat serotonin, telah terbukti sebagai pengobatan biologis yang paling efektif yang tersedia bagi penderita OCD. Kegembiraan yang diakibatkan oleh adanya cerita sukses terhadap penggunaaan obat ini telah mengarahkan pada perkembangan pengobatan yang terbaru yang telah menunjukkan hasil yang menjanjikan bagi individu yang tidak berespon dengan komipramina atau fluxotine.
Sebagian besar klinisi merekomendasikan intervensi psikologis dibandingkan dengan pemakaian obat atau sebagai pelengkap treatmen. Beberapa ahli menganjurkan treatmen yang menghadapkan indivdu secara langsung terhadap obsesi yang ditakuti maupun pencegahan ritual yang mengikuti obsesi. Steketee (1998) menjelaskan bahwa exposure membantu mengurangi kecemasan pada terhadap obsesi, sementara pencegahan respon mengendalikan ritual individu.
Dalam kasusnya, pada beberapa orang, baik intervensi farmakologi ataupun psikoterapi tidak membanu individu. Pada kasus ekstrem yang melibatkan seseorang denagn simtom melumpuhkan dapat dilakukan intervensi radikal seperti psikosurgeri. Singulotomi melibatkan pembedahan yang dengan teliti dilakukan pada cingulate bundle, suatu area dalam sistem limbik yang diimplikasikan oleh peneliti berpengaruh terhadap perkembangan perilaku kecemasan dan kompulsi. Tengkorak kepala dilubangi dengan lubang kecil dengan diameter kurang dari 2 centimeter, kemudian secara hati-hati diletakkan elektroda pada setiap cingulate bundle. Penempatan yang tepat terkadang di uji dengan tampilan rasonansi magnetik. Arus listrik kemudian dialirkan melalui elektroda untuk mencptakan lubang dengan diameter diantara 1 dan 2 sentimeter, yang biasanya menghasilkan pengurangan pada obsesi dan kompulsi. Beberapa individu yang dalam kehidupan sehari-harinya merasa tersiksa dapat mempertimabangkan sigulatomi sebagai pilihan yang dianggap efektif pada kasus yang sulit untuk ditangani. Prosedur alternatif yang tdak melibatkan proses operasi bedah otak adalah radiosurgeri dengan menggunakan instrumen yang dinamakan pisau gamma yang sebenarnya tidak memiliki mata pisau (Friehs dkk., 2007)